Kepailitan, Tak Sekadar Penegakan Hukum

Bisnis, JAKARTA – Suatu penyelesaian perkara kepailitan bukan sekadar menegakkan hukum mengingat adanya kelangsungan usaha yang harus dijaga. Solusi terbaik bagi debitur maupun kreditur menjadi hal yang paling utama.

Pandemi Covid-19 yang sudah melanda lebih dari setahun telah memukul perekonomian nasional, khususnya sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan aktivitas sosial dan mobilitas manusia. Tentunya kondisi tersebut berdampak pada berkurangnya pendapatan yang pada akhirnya mengganggu arus kas perusahaan.

Alhasil, kabar mengenai pailitnya suatu perusahaan datang silih berganti. Banyak perusahaan yang gagal memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman lantaran kondisi keuangannya sedang tidak baik.

Kondisi tersebut tecermin dari statistik perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang dipublikasikan oleh lima pengadilan niaga (PN) di Indonesia, yakni PN Jakarta Pusat, PN Medan, PN Semarang, PN Surabaya dan PN Makassar.

Dari statistik tersebut diketahui bahwa perkara kepailitan naik 6,06% dari 124 permohonan pada 2019 menjadi 132 perkara pada 2020. Sementara itu, perkara PKPU meningkat tajam hingga 36,28% dari 425 permohonan pada 2019 menjadi 667 permohonan pada 2020.

Co-Founder sekaligus Managing Partner Kantor Advokat Siahaan Gea Jesconiah Siahaan tak menampik bahwa perkara kepailitan dan PKPU yang ditangani kantor itu meningkat signifikan sejak tahun lalu. PKPU menjadi pilihan lantaran dianggap sebagai metode penyelesaian yang relatif singkat dan mampu mengurangi risiko kerugian kreditur dalam kondisi tertentu.

“Kalau pailit, belum tentu seluruh aset dari debitur cukup untuk melunasi utangnya. Apalagi penjualan aset-aset dari hasil sita umum dijual dengan harga likuidasi yang jauh lebih rendah dari harga pasar. Recovery rate atau pengembalian utang di Indonesia itu sangat rendah, kurang dari 30%. Artinya, kreditur malah rugi kalau debitur dipailitkan,” tuturnya.

Walaupun demikian, bukan berarti pailit tak layak dijadikan pilihan untuk menyelesaikan sengketa. Dalam beberapa kasus, kreditur justru berupaya keras mencari celah untuk mempailitkan debitur dengan pertimbangan besarnya aset yang dimiliki dan keberadaan pembeli aset.

Dalam beberapa kasus, menurut Jesco, demikian sapaan akrabnya, beberapa debitur akhirnya harus kehilangan asetnya lantaran salah langkah dalam proses persidangan. Sebagian besar di antaranya diketahui tak didampingi oleh advokat yang spesialisasinya menangani perkara kepailitan selama menjalani proses tersebut.

“Di situlah peran penting dari advokat dalam menangani perkara kepailitan, terutama dari sisi debitur. Agar tidak salah langkah dan akhirnya malah merugikan,” ujarnya.

Menurut Jesco, penyelesaian perkara kepailitan juga sedikit berbeda dengan penyelesaian perkara hukum lainnya yang mengedepankan penegakan hukum. Dalam penyelesaian perkara kepailitan, keadilan atau solusi terbaik bagi debitur maupun kreditur menjadi hal yang paling utama.

Dalam beberapa kasus yang pernah ditemuinya, beberapa kreditur malah mati-matian mengupayakan agar debitur mereka tak pailit. Yang tak kalah menarik adalah kedatangan investor saat debitur sudah dinyatakan pailit dan aset-asetnya siap untuk dibereskan oleh kurator.

Tentu saja, kedatangan investor menjadi angin segar bagi para kreditur. Namun, di sisi lain, berdasarkan Pasal 16 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), kewenangan kurator melakukan pengurusan dan/atau pemberesan dimulai sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

“Inilah keunikannya dari perkara kepailitan, mencari win-win solution, tak semata-mata menegakkan hukum. Ada kasus yang akhirnya menggunakan quasi peradilan atau membuat peradilan sendiri untuk PKPU kedua tanpa melibatkan PN. Tentu saja dicari oleh advokat di mana celahnya untuk melakukan hal tersebut tanpa melanggar ,” ungkap Jesco.

Menurutnya, peran advokat dalam penyelesaian perkara kepailitan dari sisi kreditur tak sekadar mengajukan permohonan pernyataan pailit ke PN dan mewakili kreditur melakukan upaya hukum lainnya. Advokat juga berperan menyelidiki bagaimana kondisi keuangan debitur dan mencari tahu keberadaan kreditur lainnya sebelum mengajukan permohonan pernyataan pailit ke PN.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah menyelidiki apa dan di mana saja aset-aset yang dimiliki oleh debitur untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit ke PN atau melakukan upaya hukum lainnya.

Bagi perusahaan terbuka atau perusahaan publik hal ini tentu saja tak begitu sulit, akan tetapi untuk perusahaan tertutup mengetahui seluruh aset dan kondisi keuangannya jelas bukan perkara mudah.

Adapun tantangan yang dihadapi dalam menyelesaikan perkara kepailitan, Jesco menyebut tak jauh-jauh dari ketidakpahaman pihak yang terlibat dalam perkara. Pihak yang berperkara, terutama debitur kerapkali tidak memahami bagaimana mekanisme penyelesaian perkara kepailitan.

Contoh kasus adalah debitur menggugat kurator yang melaksanakan tugasnya membereskan aset-aset setelah putusan pailit dinyatakan oleh PN. Mereka dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan atau telah memasuki pekarangan atau aset milik pihak lain tanpa izin.

Walaupun demikian, Jesco tak menampik bahwa ada kurator yang nakal. Dia meminta pihak yang dirugikan untuk segera melapor ke pihak berwajib.

“Umumnya kasus ini penggelapan, barang yang seharusnya akan dibereskan tiba-tiba tidak ada. Bisa dilaporkan ke dewan kehormatan dan kepolisian. Kemudian jika debitur atau kreditur merasa keberatan dengan kurator tertentu bisa meminta pergantian juga,” ungkapnya.

Tantangan lainnya adalah menghindari penyalahgunaan PKPU oleh pihak tertentu agar terbebas dari hukuman pidana. Menurut Jesco, penyalahgunaan ini kerap kali dilakukan oleh pengurus koperasi yang menggelapkan dana kelolaan agar tak terjerat hukuman pidana apabila dituntut oleh para anggotanya.

“Agar para pengurus koperasai ini bebas dari jeratan pidana dan bisa mengulur tanggung jawab mereka kepada anggota. Uangnya digelapkan tetapi alasannya investasinya yang mereka lakukan gagal atau tidak menghasilkan,” katanya.

Hakim Yustisial, Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan, Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA) Marsudin Nainggolan menuturkan, terdapat sejumlah asas yang dipenuhi dalam penyelesaian perkara. Adapun, inti dari asas-asas tersebut adalah keadilan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam perkara, baik kreditur maupun debitur serta mendukung jalannya investasi dan bisnis.

Oleh karena itu, peran advokat yang spesialisasinya perkara kepailitan tentunya tak bisa serta merta mengedepankan penegakan hukum. Ada kelangsungan usaha yang perlu dijaga dalam penyelesaian perkara tersebut.

“Asas mendorong investasi dan bisnis, memberikan manfaat perlindungan yang seimbang bagi kreditur dan debitur. Putusan pernyataan pailit tidak dapat dijatuhkan kepada debitur yang masih solven . Persetujuan pailit harus disetujui oleh para kreditur mayoritas,” tuturnya.

Kemudian asas-asas lain yang harus dipenuhi dalam penyelesaian perkara asas keadaan dia, mengakui hak separatis kreditur pemegang hak jaminan, membuat proses putusan pernyataan pailit tidak berkepanjangan dan terbuka untuk umum.

Kemudian asas pengurus perusahaan debitur yang mengakibatkan pailit harus bertanggung jawab pribadi, memberikan restrukturisasi utang sebelum diambil keputusan pailit kepada debitur yang masih memiliki usaha prospektif.

“Terakhir adalah asas perbuatan-perbuatan yang merugikan harta pailit adalah tindak pidana,” lanjutnya.

Adapun, dalam UU Kepailitan terdapat empat asas yang harus dipenuhi dalam penyelesaian perkara kepailitan. Asas pertama adalah keseimbangan atau pencegahan debitur yang tidak jujur dan kreditur yang tidak punya itikad baik. Asas kedua adalah kelangsungan berusaha atau keberlangsungan perusahaan debitur yang prospektif.

Ketiga adalah asas keadilan atau mencegah kesewenang-wenangan penagihan. Keempat adalah asas integrasi atau satu kesatuan sistem hukum perdata dan hukum perdata nasional. ‘Untuk penyelesaian atau pemberesan harus dilakukan secara adli, cepat, terbuka, dan efektif.”

Reporter : Rezha Hadyan & Yudi Supriyanto
Editor: Fatkhul Maskur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *